Jumat, 07 Februari 2014

Cerpen Srinjing dan Dilemaku, Sulastri

(sumber gambar: google)

Srinjing dan Dilemaku, Sulastri
Oleh Candra Irawan
Hampir setiap hari aku meghabiskan waktu istirahatku di sini. Di kali Srinjing. Di desaku yang masih asri yang jauh dari kata maju. Mungkin beranjak atau berkembang jauh lebih tepat aku sematkan untuk menggambarkan keadaan desaku saat ini. Setidaknya itu lebih baik daripada aku mengatakan desaku telah maju dan penduduknya sejahtera dan selalu hidup bahagia. Mungkin akan menjadi sebuah lelucon jika aku menyombongkan sebuah kebohongan macam itu. Ya itulah desaku , desa kecil di timur kabupaten Kediri. Tak perlulah kujelaskan tentang semua seluk-beluk tentang desaku disini karena aku yakin ada sebuah hal yang lebih menarik untuk kuceritakan. Bukan menyoal tentang desaku, tapi lebih tepatnya aku lebih senang bercerita tentang bidadari kali Srinjing yang selalu memanjakan mataku. Bidadari kali Srinjing yang kuceritakan ini bernama Sulastri. Kau, seorang bidadari dari desa seberang yang selalu mandi di kali Srinjing.
Awal aku mengenalmu Sulastri, adalah ketika aku seperti biasa menumpahkan semua lumpur, keringat dan sisa rasa lelah setelah mencangkul tanah juraganku di kali ini. Aku terbiasa mandi di kali ini, bukan hanya aku saja. Banyak penduduk lain di desaku juga sangat sayang pada kali Srinjing. Bahkan tak hanya keringat saja yang ingin mereka dan aku bagikan pada kali Srinjing. Demi kecintaan dan kesetiaan atau mungkin juga bisa jadi karena keterpaksaan dari sebuah keadaan desaku yang memaksa mereka dan juga aku menumpahkan dan menyisakan sedikit sisa lelah keringat, sampah, kencing, atau bahkan juga kotoran busuk yang aku yakin kau tahu itu. Ya itu adalah sisa makanan yang harus mereka dan juga aku keluarkan dari tubuh sisa kiriman sarapan yang mereka dan juga aku lahap untuk menyemangati kerja tadi pagi.
Ketika waktu itu aku menanggalkan seluruh pakaian yang kukenakan bersama dengan teman-temanku yang lain, yang mungkin tanpa kuceritakan pun kau tahu akan hal itu. Jarak antara aku, mereka dan kau hanya selemparan pandang saja. Tapi kulirik kau cuek-cuek saja. Mungkin kau sudah terbiasa akan hal ini. Mungkin juga kau menganggap aku dan mereka sebagai tontonan atau mungkin sebatas iseng kau lemparkan senyum padaku waktu itu. Sulastri. Kau tanpa ragu menuruni tangga-tangga tanah yang telah dipersiapkan oleh orang-orang jaman dulu. Mungkin, yang membuatmu leluasa menuruninya menuju kali Srinjing yang jernih. Dari gerak-gerikmu dan barang bawaanmu kala itu aku sangat yakin apa yang akan kau lakukan disini. Di kali Srinjing ini. Tanpa bertanya aku tahu kalau kau akan mencuci seember penuh pakaian kotor yang kau bawa.
Masih dengan telanjang bulat, tapi kali ini aku menenggelamkan tubuhku hingga sebatas perut. Lalu segera menyapamu: “Lagi nyuci tri!” . Kau hanya menoleh sebentar sembari melemparkan sebuah senyum kau kembali membalikan badanmu dan meneruskan pekerjaan yang ingin segera kau selesaikan. Mencuci.
Hari memang sudah sore tapi terik matahari di sini masih saja menyengat kulitku dan mungkin juga mereka atau bahkan kulit hitam manismu pun ikut merintih karena terbakar  amukan sang surya yang tak ingin kau tunjukan kepolosanmu di sini. Di kali Srinjing ini. Tapi kau tak menggubris semua itu, dengan sedikit melirik ke arahmu aku dan mungkin juga mereka pun tahu apa yang sedang kau lakukan. Kau telah menyelesaikan setiap baju yang kau cuci. Dan bahkan kini kau bersiap melepas setiap helai benang yang kau lilitkan di tubuhmu. Aku dan mereka beruntung saat ini karena dapat melihat dengan langsung sebuah pemandangan tentang bidadari polos yang sedang mandi. Dan otak jailku pun berbisik: Ingin rasanya aku mencuri semua pakaian yang kau bawa. Kau tahu mengapa? Karena aku ingin menirukan akal cerdik seorang pemuda dalam sebuah legenda Jaka tarub yang seringkali dibacakan oleh guru SDku dulu. Kau tahu cerita itu bukan? Ya aku sangat yakin  sebagai seorang bidadari yang mencintai negerinya kau pasti tahu banyak cerita tentang dongeng, legenda dan mitos yang ada di desa ini, di desa seberang atau mungkin desa lain di luar sana.
            Aku dan mereka memang beruntung tapi sesungguhnya kau pun juga beruntung. Sulastri. Aku tahu kau pasti pernah melihat berita di layar televisi. Kuharap kau paham maksudku. Jikalaupun kau kurang paham maka akan dengan senang hati aku menceritakannya untukmu. Dan yang kumaksud itu bahwa: Kau sangat beruntung Lastri. Sangat beruntung. Setidaknya kau jauh lebih beruntung dari para selebritis yang berlaga  di televisi. Kau masih sangat beruntung karena kau tidak menghadapi apa yang mereka hadapi. Kau lebih terhormat di mata kami daripada mereka, para selebritis itu. Yang harus menelan ludah pahit. Yang harus beradu mulut dan mungkin juga beradu nasib jika mereka akhirnya diseret ke meja hijau oleh mereka yang mengaku dari organisasi pembela agama. Dan kau tahu itu. Mereka rela berpanas-panasan, berteriak-teriak, menceramahi para selebritis yang bergoyang di televisi demi mendapatkan segepok uang. Alasan agama kata mereka.
            Lagi-lagi kau masih sangat beruntung Sulastri. Hanya sepasang  mataku dan beberapa pasang dari mata mereka yang melihat kepolosanmu. Coba kau bayangkan dengan pikiranmu yang jernih dan juga kekuatan nyalimu yang tinggi sekalipun. Seandainya dirimu adalah seorang selebritis. Mungkin kau tak sebebas dirimu saat ini. Kau tahu seandainya ada wartawan yang dengan senang hati menguntit sepotong dua potong adegan polosmu itu. Tentu saja lagi-lagi kau harus bersyukur di sini. Karena kau bukan seorang selebritis papan atas. Kau hanyalah Sulastri yang bebas. Yang merdeka dan bisa melakukan sesukamu di sini.
            Setidaknya kau masih jauh dan masih sangat beruntung daripada para selebritis di televisi yang bahkan mereka masih menggunakan kain untuk menutupi tubuhnya pun masih sering menghadapi banyak protes. Banyak pencekalan.
            Kau tahu Lastri, andai para selebritis itu tahu apa yang sedang kau lakukan saat ini. Saat kau membiarkan tubuhmu polos di kali Srinjing sementara mataku dan juga mereka yang mengawasimu dalam jarak puluhan meter. Mungkin para selebritis itu akan mengajukan protes. Sangat mungkin terjadi, terlebih di negara demokrasi seperti negara kita. Sedikit laporan dari orang yang berduit akan cepat ditanggapi dan akan cepat diselesaikan. Sangat jelas berbeda saat ada buruh yang sepintas terlihat bergerombol membuat barisan yang mereka harus berteriak-teriak. Padahal harusnya kau atau mungkin mereka juga tahu. Hal tersebut tak mudah dilakukan. Protes tanpa segepok uang rasanya seperti melukiskan cita-cita mulia di atas air. Tentu akan sangat mudah hilang ditelan waktu. Apalagi untuk negara yang sering mengalami gejolak seperti negara kita.
            Tapi tampaknya kulihat dengan pemikiranku, kau  tak juga bergeming dengan ancaman para selebritis yang iri dengan kebebasanmu. Dan bahkan kuyakin jika mereka berani membuka mulut. Kau tak segan melontarkan jurus pamungkas, “Seorang yang berani mengkritik berarti harus berani pula memberikan solusi yang baik”. Begitu yang sering aku dengar dari mulutmu, dari sepotong pembicaraan yang kukutip saat kau bercengkerama dengan teman gadis sedesamu. Dari awal aku memang telah mengakui Lastri, kau memang seorang bidadari Srinjing yang cerdas. Kau mampu membalikkan semua sergahan yang ingin mereka lontarkan dengan sebuah jurus mematikan yang kutahu mereka pun tak seorang akan berteriak atau bahkan berbisik secara lirih sekalipun.  Jika mereka berani menyumbangkan komentar, berarti mereka harus pula menyiapkan uang yang cukup untuk sekedar membangun kamar mandi untuk orang se-desamu. Berkomentar berarti harus memberi solusi. Sebuah pemikiran yang sederhana namun sangat cerdas. Itu lebih baik daripada mereka yang sering kali terlihat menonjol dengan duduk di kursi kehormatan sembari melontarkan beberapa kalimat yang telah terangkai dengan pedas. Yang kutahu itu sangat menyentil sisi sentimentilmu. Sulastri.
            Kau selalu bangga dengan pemikiranmu itu Sulastri, bukan berarti kau tak beragama. Ini karena sebuah keterpaksaan dari sebuah keadaan yang memang belum bisa kau atasi. Sangat tidak mengenakkan jika kau dan penduduk se-desamu menerima satu atau dua kamar mandi umum yang terpisah pria dan wanita. Tentu akan lebih terasa sulit jika kau harus antri berjam-jam hanya untuk menunggu giliran mandi. Apalagi jika urusan mandi ini saja dikaitkan dengan birokrasi pelik yang tak ada habisnya. Kutahu kau tak mau hal itu terjadi di desamu.
            Kau memang selalu bilang padaku. Dan aku hanya diam tak membenarkan. Namun tak juga berani menyalahkan. Walau dalam hatiku yang paling dalam aku memikirkan bahwa apa yang kau lakukan saat ini harus segera tersudahi, Lastri. Aku diam karena seperti apa yang kau bilang. Berkomentar berarti harus berani memberi solusi. Dan kau pun juga sangat tahu aku belum bisa memberimu solusi dari masalah ini. Aku terlalu sibuk bekerja memeras keringat di sawah juraganku. Aku dan mereka memegang peranan penting untuk negeri ini. Kau tahu. Jika aku dan mereka berhenti seminggu saja untuk bermusyawarah tentang solusi dari masalahmu itu. Mungkin akan banyak orang dan mungkin juga kau yang akan kelaparan. Apalagi jika harus menggelar rapat besar-besaran dengan penduduk se-desaku. Tentu akan memerlukan lebih banyak hal yang harus kupikirkan. Banyak pendapat yang akan bermunculan, calo-calo pemberi harapan pun mungkin juga akan turut hadir. Dan bahkan masalah yang mungkin akan dihadapi pada rapat di desaku atau di tempat lainnya adalah tentang dana. Kau mungkin tak pernah memikirkan tentang pembengkakkan biaya rapat yang meresahkan bagi orang kecil seperti aku dan mereka.
            Aku masih terus memikirkan hal itu Lastri. Bahkan saat mentari telah tenggelam. Dan tentu saja aku sekarang sedang berdiam diri di rumah kecilku sembari menengguk secangkir kopi pahit untuk memberikan kehangatan di antara dinginnya malam. Tak perlu kau takut padaku karena kopi pahit yang kuminum bukan sebagai syarat untuk mendatangkan kekayaan dalam waktu singkat yang sering di isukan di televisi. Percayalah padaku Lastri. Percayalah. Aku masih cukup kuat untuk menggunakan ototku mencangkul, menanam padi dan tanaman pangan lainnya di lahan juraganku. Aku ini ksatria. Sulastri, jadi segera enyahkan jauh-jauh dari otakmu bahwa aku akan membiarkan diriku menuruti nafsu. Aku tak akan mengambil jalan pintas untuk mencapai apa yang kuinginkan. Kurasa diriku jauh lebih terhormat daripada mereka yang saat ini menangis, mereka yang berekspresi sedu sedan di balik jeruji besi karena mereka terungkap telah melakukan korupsi. Dan kurasa aku juga masih lebih tinggi kastanya dari para pengecut yang saat ini sedang bersembunyi, atau mereka yang saat ini pandai bersilat lidah membelokkan fakta-fakta hukum yang seharusnya tak untuk didustakan. Sekali lagi. Sulastri. Aku masih jauh lebih terhormat.
            Bunyi detak jam dinding usang  yang sudah pecah kacanya terus membisingkan telingaku di rumah sepi ini. Jarumnya juga tak lelah berputar, terhitung sejak dua tahun lalu ketika aku mengganti baterainya untuk kali pertama. Dan kulihat kopiku kini juga hampir habis. Tapi aku terus melamunkan sebuah solusi yang hendak kuberikan padamu agar kau tak lagi perlu menunjukkan kepolosanmu di kali Srinjing. Aku takut. Sungguh teramat takut. Jika ada wartawan usil yang meliputmu. Lalu potongan foto-foto usil wartawan yang lebih cepat menyebar di dunia maya. Tentu aku akan marah pada diriku sendiri. Kau tahu mengapa Lastri? Ini adalah masalah klasik. Masalah seorang lelaki sejati sepertiku yang tak ingin dianggap pengecut. Apalagi pecundang. Sekali lagi aku lebih terhormat dan tinggi kastanya dari para pengecut dan pecundang.
            Aku hanya ingin melindungimu Lastri. Tak lebih dari itu. Aku ingin melindungimu dari ulah para wartawan, kritikan pedas dari para pembela agama. Atau kau pun juga tahu aku akan melindungimu dari kedengkian para selebritis yang mengidolakan kebebasanmu Sulastri. Tunggulah aku. Bersabarlah. Akan segera kutemukan sebuah solusi untukmu. Untuk kepolosanmu itu.
            Waktu terus meninggalkan otakku yang penuh pemikiran dan bayang kepolosanmu. Sehari. Aku selalu memikirkan dirimu, bahkan saat aku sedang bersama kerbau juraganku. Ataupun dua hari aku selalu berambisi untuk menjaga kehormatanmu saat aku sedang bergelut dengan cangkul dan lumpur kotor. Tiga hari, empat hari, sebulan pun berlalu aku masih juga memikirkan tentang masalah klasikmu itu. Aku ini peduli padamu. Entah mengapa? Pun aku tak bisa mendustakan ada sebuah gejolak panas saat kudengar di layar televisi kembali menggemuruhkan suara para demonstran atau mungkin juga para selebritis yang khas dengan pencekalan yang semakin akrab. Kurasa.
            Hingga suatu ketika. Empat puluh hari setelah aku menyadari, setelah aku mengerti dan mulai terpikat untuk membantu menyelesaikan masalahmu. Aku termenung di belakang rumahku. Di bawah gerombolan pohon bambu yang saling bergesekkan dan menyanyikan suara yang tak lebih membisingkan dari bunyi kendaraan di kota. Hanya sebatas teman dalam pemikiran untukmu. Sebuah ide atau mungkin juga sebuah petunjuk muncul saat aku melihat beberapa karung bekas di bawah gerombolan bambu. Mungkin kau bertanya-tanya akan aku apakan karung bekas itu. Tapi jangan lantas kau berpikir aku akan menjual karung bekas itu untuk membuatkanmu kamar mandi. Karung bekas tak lebih berharga, karung bekas tak cukup bernilai untuk sekedar aku tukarkan dengan material bangunan. Aku yakin kau pun tahu hal itu.
            Segera saja tanpa menunggu banyak waktu yang terbuang . Kuambil beberapa karung bekas lalu kubelah salah satu sisinya hingga sekarang ukurannya tentu terlihat dua kali lebih besar dari yang semula. Tak lupa kuambil pula beberapa batang bambu dan kupotong menjadi beberapa bagian yang kusesuaikan dengan perhitungan cepat yang ada diotakku. Yang tentunya ini lebih hemat daripada aku harus menganalisa banyak perhitungan yang mungkin akan lebih banyak uang dan waktu yang kubutuhkan. Aku tak mau hal itu terjadi.
            Lalu dengan langkah penuh kegembiraan kuarak bambu dan karung bekas itu menuju kali Srinjing. Di tempat biasa aku menemukanmu. Aku melewati rumah-rumah tetanggaku yang menatap heran dengan apa yang akan kulakukan. Tapi tentu saja itu tak menyurutkan niatku. Bahkan dengan bangga aku memamerkan pada mereka semua, bahwa: Aku telah menemukan solusi untuk Sulastri. Dan ini yang tebaik. Aku pun berharap kau akan jauh lebih bangga padaku Lastri. Aku harap itu. Kau harusnya bersyukur dan bangga padaku lebih dari kebanggaan mereka , karena ini kulakukan untukmu. Ingat, hanya untukmu Sulastri. Bukan untuk para demonstran, selebritis, wartawan apalagi hanya untuk para pecundang, pengecut.
            Kini aku menuruni tangga tanah yang sering kau lalui. Aku tak menghitung berapa jumlah anak tangga yang berhasil kuturuni karena aku terlalu bernafsu untuk segera memberikan hadiah istimewa ini untukmu. Setelah kakiku menyentuh dasar kali Srinjing yang sedikit berpasir aku segera menancapkan beberapa bambu yang telah kupersiapkan. Yang telah kupotong lancip pada bagian bawahnya. Satu persatu bambu pun kutancapkan dan kutata berdasarkan imaginasi yang ada di otakku saat itu. Tak banyak kata dan pemikiran, hanya aku lebih banyak bertindak. Itu saja.
            Setelah semua tonggak telah berdiri maka sudah saatnya aku menyampulnya dengan karung bekas yang terbelah tadi. Tak lupa kukaitkan beberapa kawat kecil sebagai tali penguat di ujung-ujung tonggak. Dan tak berapa lama pun kini sebuah kamar mandi privat. Dan mungkin juga termewah yang ada di kali Srinjing ini dapat segera kau nikmati. Aku yakin dengan kamar mandi berkat pemikiranku beberapa hari lalu, akan menjawab semua masalah klasikmu. Kau tak perlu takut lagi pada para demonstran, wartawan ataupun juga para selebritis, yang mulai sekarang akan menutup mulutnya. Atau mungkin juga akan terilhami dengan ikut-ikutan memakai karung bekas untuk menutupi tubuhnya. Mungkin saja. Apa yang tak mungkin di negara demokrasi yang beranjak bebas seperti negara kita.
            Setelah kurasa semua telah cukup. Aku segera pergi menuju ke tempat biasa aku mandi dan menunggumu. Lama aku terduduk termenung.  Tapi hingga sinar matahari telah meredup dan awan-awan hitam berarakan kau pun tak kunjung datang. Bahkan kulihat sedari tadi ada gadis-gadis dan ibu-ibu lain yang terlebih dulu menikmati kamar mandi privat yang sebenarnya aku persembahkan hanya untukmu. Tersirat sebuah gambaran kekecewaanku waktu itu Lastri, wajahku pucat, otot-otot di lenganku pun terasa melemas. Dan setelah kuyakin kau tak juga dan tak mungkin datang karena sungai Srinjing yang mulai gelap. Aku memutuskan untuk melangkahkan kaki dengan lesu menuju rumah. Aku hanya tertunduk malu melewati barisan rumah yang tadi sempat aku pameri. Saat aku menemukan sebuah solusi untuk masalahmu.
            Sang raja pagi telah berkokok membuyarkan mimpi melihatmu di kamar mandi mewah. Hadiah untukmu. Aku segera bergegas menuju kali Srinjing. Aku memutuskan untuk cuti kerja hari ini. Hanya ingin melihatmu tersenyum saat berada dalam kamar mandi kali Srinjing. Ada sebuah kekuatan batin atau bisa juga intuisi yang mendorong kuat ragaku untuk menunggumu di sini. Kicauan burung-burung kecil dan bunyi air yang mengalir terus menemaniku melewati waktu di kali Srinjing. Tapi kau tak juga datang, hanya gadis-gadis dan ibu-ibu yang kemarin kulihat. Kini semakin bersemangat dan semakin menunjukan senyum merekahnya, karena mereka mendapatkan kamar mandi. Yang harusnya itu kau miliki, kau gunakan. Sulastri.
            Sehari, dua hari, seminggu, sebulan pun kian berlalu. Kau tak juga menampakkan batang hidungmu. Hatiku resah. Kembali bergejolak liar, ada apa gerangan? Pikirku semakin kacau. Kau tahu itu Sulastri? Itu karena kabar burung yang kudengar tentang dirimu. Kata mereka: Kau tak lagi tinggal di desa seberang, kau pindah ke kota. Mencari uang. Aku tak habis pikir, ternyata kau sama saja dengan para selebritis itu Lastri. Kau sungguh tega padaku. Padahal aku telah berbaik hati memberimu solusi dari masalah yang kau hadapi. Tapi justru sekarang kau malah pergi meninggalkanku tanpa kabar sedikitpun. Tak tahu siapa yang harus kusalahkan. Mungkin juga aku sendiri. Ya ini memang salahku. Karena aku tak mengumumkan padamu bahwa aku memiliki rancangan untuk memecahkan masalahmu itu Sulastri. Ini benar-benar kebodohanku.
            Sulastri, aku merindukanmu. Aku merindukan senyummu di kali Srinjing ini. Cepatlah pulang. Di sini telah kupersembahkan kamar mandi privat terbaik yang pernah ada di kali Srinjing. Hanya untukmu Sulastri. Bukan untuk yang lain. Cepatlah pulang, jangan paksa otakku berpikir macam-macam tentangmu. Jangan paksa otakku untuk mempercayai bahwa kau tengah asyik tidur di kamar mandi bernilai milyaran rupiah milik pejabat di kota, Sulastri. Kuharap kau tak tergiur dengannya. Semoga saja benar. Dan kau lekas kembali.

Di pinggir kali Srinjing aku akan selalu menunggu kehadiranmu.
Pemerhatimu, Darto.
           
Candra Irawan , hobi menulis puisi, cerpen dan bermain teater. Lahir dan besar di Kediri. Fb: Irawanc72@yahoo.com  dan Email candrairawan72@gmail.com .

Diklat UKM Karawitan Puspita Laras STKIP PGRI Jombang 2013/2014


Pentas Mini Meriahkan Penutupan Agenda Diklat

               
Pentas mini UKM Karawitan Puspita Laras STKIP PGRI Jombang telah berhasil terlaksana dengan lancar pada hari Sabtu tanggal 18 Januari 2014 yang lalu. Acara pentas mini tersebut merupakan penutup dari rangkaian acara Penerimaan Anggota Baru UKM Karawitan Puspita Laras STKIP PGRI Jombang tahun 2014. Pentas mini yang digelar dengan memanfaatkan halaman di antara gedung B dan gedung C STKIP PGRI Jombang tersebut berlangsung sangat meriah karena pada acara tersebut tak kurang dari100 mahasiswa yang menghadiri acara itu yang di antaranya terdiri dari para anggota senior, calon anggota baru dan juga tamu undangan dari ORMAWA yang ada di lingkungan kampus STKIP PGRI Jombang  serta tamu undangan dari UKM Lokananta STKIP PGRI Nganjuk.

            Sebelumnya, para calon anggota baru UKM Karawitan Puspita Laras tersebut harus menjalani serangkaian acara diklat yang bertemakan “Merajut Kebersamaan Indahkan Seni Tradisi” yang telah sukses terlaksana di SMPN 2 Wonosalam. Sebenarnya acara diklat tersebut rencananya akan dilaksanakan di Vila Kerta Pusaka Wonokerto, namun karena ada sebuah hal di luar rencana terkait dengan tempat pelaksanaan maka demi tetap berlangsungnya kegiatan, panitia memutuskan untuk mengalihkan diklat di SMPN 2 Wonosalam.

            Pada acara diklat yang berlangsung dari tanggal 27 hingga tanggal 29 Januari tersebut para calon anggota baru UKM Karawitan mendapatkan banyak ilmu yang disampaikan oleh para pemateri yang hadir. Yang di antaranya adalah materi mengenai keorganisasian, kekarawitanan, materi Outbond di air terjun Pudak Sari dan materi lainnya.

            Para Calon anggota Baru UKM Karawitan Puspita Laras tampak sangat antusias dalam menjalani serangkaian kegiatan tersebut, mulai dari diklat di Wonosalam hingga acara pentas mini di kampus STKIP PGRI Jombang. Di Pentas mini tersebut para calon anggota baru tidak hanya menyaksikan penampilan dari para seniornya saja tetapi mereka harus menampilkan penampilan mereka dalam menabuh perangkat gamelan.
            Acara pentas mini berakhir setelah pencopotan tanda peserta sebagai simbolik bahwa para calon anggota baru UKM Karawitan Puspita Laras telah resmi menjadi anggota UKM Karawitan Puspita Laras STKIP PGRI Jombang yang ke depannya diharapkan akan mampu mengindahkan seni tradisi khususnya di lingkungan STKIP PGRI Jombang. (cdr)