(sumber gambar: google)
Srinjing dan Dilemaku, Sulastri
Oleh Candra Irawan
Hampir
setiap hari aku meghabiskan waktu istirahatku di sini. Di kali Srinjing. Di
desaku yang masih asri yang jauh dari kata maju. Mungkin beranjak atau
berkembang jauh lebih tepat aku sematkan untuk menggambarkan keadaan desaku
saat ini. Setidaknya itu lebih baik daripada aku mengatakan desaku telah maju
dan penduduknya sejahtera dan selalu hidup bahagia. Mungkin akan menjadi sebuah
lelucon jika aku menyombongkan sebuah kebohongan macam itu. Ya itulah desaku ,
desa kecil di timur kabupaten Kediri. Tak perlulah kujelaskan tentang semua
seluk-beluk tentang desaku disini karena aku yakin ada sebuah hal yang lebih
menarik untuk kuceritakan. Bukan menyoal tentang desaku, tapi lebih tepatnya
aku lebih senang bercerita tentang bidadari kali Srinjing yang selalu
memanjakan mataku. Bidadari kali Srinjing yang kuceritakan ini bernama Sulastri.
Kau, seorang bidadari dari desa seberang yang selalu mandi di kali Srinjing.
Awal
aku mengenalmu Sulastri, adalah ketika aku seperti biasa menumpahkan semua
lumpur, keringat dan sisa rasa lelah setelah mencangkul tanah juraganku di kali
ini. Aku terbiasa mandi di kali ini, bukan hanya aku saja. Banyak penduduk lain
di desaku juga sangat sayang pada kali Srinjing. Bahkan tak hanya keringat saja
yang ingin mereka dan aku bagikan pada kali Srinjing. Demi kecintaan dan
kesetiaan atau mungkin juga bisa jadi karena keterpaksaan dari sebuah keadaan
desaku yang memaksa mereka dan juga aku menumpahkan dan menyisakan sedikit sisa
lelah keringat, sampah, kencing, atau bahkan juga kotoran busuk yang aku yakin
kau tahu itu. Ya itu adalah sisa makanan yang harus mereka dan juga aku
keluarkan dari tubuh sisa kiriman sarapan yang mereka dan juga aku lahap untuk
menyemangati kerja tadi pagi.
Ketika
waktu itu aku menanggalkan seluruh pakaian yang kukenakan bersama dengan
teman-temanku yang lain, yang mungkin tanpa kuceritakan pun kau tahu akan hal
itu. Jarak antara aku, mereka dan kau hanya selemparan pandang saja. Tapi
kulirik kau cuek-cuek saja. Mungkin kau sudah terbiasa akan hal ini. Mungkin
juga kau menganggap aku dan mereka sebagai tontonan atau mungkin sebatas iseng
kau lemparkan senyum padaku waktu itu. Sulastri. Kau tanpa ragu menuruni
tangga-tangga tanah yang telah dipersiapkan oleh orang-orang jaman dulu. Mungkin,
yang membuatmu leluasa menuruninya menuju kali Srinjing yang jernih. Dari
gerak-gerikmu dan barang bawaanmu kala itu aku sangat yakin apa yang akan kau
lakukan disini. Di kali Srinjing ini. Tanpa bertanya aku tahu kalau kau akan
mencuci seember penuh pakaian kotor yang kau bawa.
Masih
dengan telanjang bulat, tapi kali ini aku menenggelamkan tubuhku hingga sebatas
perut. Lalu segera menyapamu: “Lagi nyuci tri!” . Kau hanya menoleh sebentar sembari
melemparkan sebuah senyum kau kembali membalikan badanmu dan meneruskan
pekerjaan yang ingin segera kau selesaikan. Mencuci.
Hari
memang sudah sore tapi terik matahari di sini masih saja menyengat kulitku dan
mungkin juga mereka atau bahkan kulit hitam manismu pun ikut merintih karena terbakar amukan sang surya yang tak ingin kau tunjukan
kepolosanmu di sini. Di kali Srinjing ini. Tapi kau tak menggubris semua itu,
dengan sedikit melirik ke arahmu aku dan mungkin juga mereka pun tahu apa yang
sedang kau lakukan. Kau telah menyelesaikan setiap baju yang kau cuci. Dan
bahkan kini kau bersiap melepas setiap helai benang yang kau lilitkan di
tubuhmu. Aku dan mereka beruntung saat ini karena dapat melihat dengan langsung
sebuah pemandangan tentang bidadari polos yang sedang mandi. Dan otak jailku
pun berbisik: Ingin rasanya aku mencuri semua pakaian yang kau bawa. Kau tahu
mengapa? Karena aku ingin menirukan akal cerdik seorang pemuda dalam sebuah
legenda Jaka tarub yang seringkali dibacakan oleh guru SDku dulu. Kau tahu
cerita itu bukan? Ya aku sangat yakin sebagai seorang bidadari yang mencintai
negerinya kau pasti tahu banyak cerita tentang dongeng, legenda dan mitos yang
ada di desa ini, di desa seberang atau mungkin desa lain di luar sana.
Aku dan mereka memang beruntung tapi sesungguhnya kau pun
juga beruntung. Sulastri. Aku tahu kau pasti pernah melihat berita di layar
televisi. Kuharap kau paham maksudku. Jikalaupun kau kurang paham maka akan
dengan senang hati aku menceritakannya untukmu. Dan yang kumaksud itu bahwa: Kau
sangat beruntung Lastri. Sangat beruntung. Setidaknya kau jauh lebih beruntung
dari para selebritis yang berlaga di
televisi. Kau masih sangat beruntung karena kau tidak menghadapi apa yang
mereka hadapi. Kau lebih terhormat di mata kami daripada mereka, para selebritis
itu. Yang harus menelan ludah pahit. Yang harus beradu mulut dan mungkin juga
beradu nasib jika mereka akhirnya diseret ke meja hijau oleh mereka yang
mengaku dari organisasi pembela agama. Dan kau tahu itu. Mereka rela
berpanas-panasan, berteriak-teriak, menceramahi para selebritis yang bergoyang
di televisi demi mendapatkan segepok uang. Alasan agama kata mereka.
Lagi-lagi kau masih sangat beruntung Sulastri. Hanya
sepasang mataku dan beberapa pasang dari
mata mereka yang melihat kepolosanmu. Coba kau bayangkan dengan pikiranmu yang
jernih dan juga kekuatan nyalimu yang tinggi sekalipun. Seandainya dirimu
adalah seorang selebritis. Mungkin kau tak sebebas dirimu saat ini. Kau tahu
seandainya ada wartawan yang dengan senang hati menguntit sepotong dua potong
adegan polosmu itu. Tentu saja lagi-lagi kau harus bersyukur di sini. Karena
kau bukan seorang selebritis papan atas. Kau hanyalah Sulastri yang bebas. Yang
merdeka dan bisa melakukan sesukamu di sini.
Setidaknya kau masih jauh dan masih sangat beruntung daripada
para selebritis di televisi yang bahkan mereka masih menggunakan kain untuk
menutupi tubuhnya pun masih sering menghadapi banyak protes. Banyak pencekalan.
Kau tahu Lastri, andai para selebritis itu tahu apa yang
sedang kau lakukan saat ini. Saat kau membiarkan tubuhmu polos di kali Srinjing
sementara mataku dan juga mereka yang mengawasimu dalam jarak puluhan meter.
Mungkin para selebritis itu akan mengajukan protes. Sangat mungkin terjadi,
terlebih di negara demokrasi seperti negara kita. Sedikit laporan dari orang
yang berduit akan cepat ditanggapi dan akan cepat diselesaikan. Sangat jelas
berbeda saat ada buruh yang sepintas terlihat bergerombol membuat barisan yang
mereka harus berteriak-teriak. Padahal harusnya kau atau mungkin mereka juga
tahu. Hal tersebut tak mudah dilakukan. Protes tanpa segepok uang rasanya
seperti melukiskan cita-cita mulia di atas air. Tentu akan sangat mudah hilang
ditelan waktu. Apalagi untuk negara yang sering mengalami gejolak seperti negara
kita.
Tapi tampaknya kulihat dengan pemikiranku, kau tak juga bergeming dengan ancaman para
selebritis yang iri dengan kebebasanmu. Dan bahkan kuyakin jika mereka berani
membuka mulut. Kau tak segan melontarkan jurus pamungkas, “Seorang yang berani
mengkritik berarti harus berani pula memberikan solusi yang baik”. Begitu yang
sering aku dengar dari mulutmu, dari sepotong pembicaraan yang kukutip saat kau
bercengkerama dengan teman gadis sedesamu. Dari awal aku memang telah mengakui Lastri,
kau memang seorang bidadari Srinjing yang cerdas. Kau mampu membalikkan semua
sergahan yang ingin mereka lontarkan dengan sebuah jurus mematikan yang kutahu
mereka pun tak seorang akan berteriak atau bahkan berbisik secara lirih
sekalipun. Jika mereka berani
menyumbangkan komentar, berarti mereka harus pula menyiapkan uang yang cukup
untuk sekedar membangun kamar mandi untuk orang se-desamu. Berkomentar berarti
harus memberi solusi. Sebuah pemikiran yang sederhana namun sangat cerdas. Itu
lebih baik daripada mereka yang sering kali terlihat menonjol dengan duduk di
kursi kehormatan sembari melontarkan beberapa kalimat yang telah terangkai
dengan pedas. Yang kutahu itu sangat menyentil sisi sentimentilmu. Sulastri.
Kau selalu bangga dengan pemikiranmu itu Sulastri, bukan
berarti kau tak beragama. Ini karena sebuah keterpaksaan dari sebuah keadaan
yang memang belum bisa kau atasi. Sangat tidak mengenakkan jika kau dan
penduduk se-desamu menerima satu atau dua kamar mandi umum yang terpisah pria
dan wanita. Tentu akan lebih terasa sulit jika kau harus antri berjam-jam hanya
untuk menunggu giliran mandi. Apalagi jika urusan mandi ini saja dikaitkan
dengan birokrasi pelik yang tak ada habisnya. Kutahu kau tak mau hal itu
terjadi di desamu.
Kau memang selalu bilang padaku. Dan aku hanya diam tak
membenarkan. Namun tak juga berani menyalahkan. Walau dalam hatiku yang paling
dalam aku memikirkan bahwa apa yang kau lakukan saat ini harus segera
tersudahi, Lastri. Aku diam karena seperti apa yang kau bilang. Berkomentar
berarti harus berani memberi solusi. Dan kau pun juga sangat tahu aku belum
bisa memberimu solusi dari masalah ini. Aku terlalu sibuk bekerja memeras
keringat di sawah juraganku. Aku dan mereka memegang peranan penting untuk
negeri ini. Kau tahu. Jika aku dan mereka berhenti seminggu saja untuk
bermusyawarah tentang solusi dari masalahmu itu. Mungkin akan banyak orang dan
mungkin juga kau yang akan kelaparan. Apalagi jika harus menggelar rapat
besar-besaran dengan penduduk se-desaku. Tentu akan memerlukan lebih banyak hal
yang harus kupikirkan. Banyak pendapat yang akan bermunculan, calo-calo pemberi
harapan pun mungkin juga akan turut hadir. Dan bahkan masalah yang mungkin akan
dihadapi pada rapat di desaku atau di tempat lainnya adalah tentang dana. Kau
mungkin tak pernah memikirkan tentang pembengkakkan biaya rapat yang meresahkan
bagi orang kecil seperti aku dan mereka.
Aku masih terus memikirkan hal itu Lastri. Bahkan saat
mentari telah tenggelam. Dan tentu saja aku sekarang sedang berdiam diri di
rumah kecilku sembari menengguk secangkir kopi pahit untuk memberikan
kehangatan di antara dinginnya malam. Tak perlu kau takut padaku karena kopi
pahit yang kuminum bukan sebagai syarat untuk mendatangkan kekayaan dalam waktu
singkat yang sering di isukan di televisi. Percayalah padaku Lastri.
Percayalah. Aku masih cukup kuat untuk menggunakan ototku mencangkul, menanam
padi dan tanaman pangan lainnya di lahan juraganku. Aku ini ksatria. Sulastri,
jadi segera enyahkan jauh-jauh dari otakmu bahwa aku akan membiarkan diriku
menuruti nafsu. Aku tak akan mengambil jalan pintas untuk mencapai apa yang kuinginkan.
Kurasa diriku jauh lebih terhormat daripada mereka yang saat ini menangis,
mereka yang berekspresi sedu sedan di balik jeruji besi karena mereka terungkap
telah melakukan korupsi. Dan kurasa aku juga masih lebih tinggi kastanya dari
para pengecut yang saat ini sedang bersembunyi, atau mereka yang saat ini
pandai bersilat lidah membelokkan fakta-fakta hukum yang seharusnya tak untuk
didustakan. Sekali lagi. Sulastri. Aku masih jauh lebih terhormat.
Bunyi detak jam dinding usang yang sudah pecah kacanya terus membisingkan
telingaku di rumah sepi ini. Jarumnya juga tak lelah berputar, terhitung sejak
dua tahun lalu ketika aku mengganti baterainya untuk kali pertama. Dan kulihat
kopiku kini juga hampir habis. Tapi aku terus melamunkan sebuah solusi yang
hendak kuberikan padamu agar kau tak lagi perlu menunjukkan kepolosanmu di kali
Srinjing. Aku takut. Sungguh teramat takut. Jika ada wartawan usil yang
meliputmu. Lalu potongan foto-foto usil wartawan yang lebih cepat menyebar di
dunia maya. Tentu aku akan marah pada diriku sendiri. Kau tahu mengapa Lastri?
Ini adalah masalah klasik. Masalah seorang lelaki sejati sepertiku yang tak
ingin dianggap pengecut. Apalagi pecundang. Sekali lagi aku lebih terhormat dan
tinggi kastanya dari para pengecut dan pecundang.
Aku hanya ingin melindungimu Lastri. Tak lebih dari itu.
Aku ingin melindungimu dari ulah para wartawan, kritikan pedas dari para
pembela agama. Atau kau pun juga tahu aku akan melindungimu dari kedengkian
para selebritis yang mengidolakan kebebasanmu Sulastri. Tunggulah aku.
Bersabarlah. Akan segera kutemukan sebuah solusi untukmu. Untuk kepolosanmu
itu.
Waktu terus meninggalkan otakku yang penuh pemikiran dan bayang
kepolosanmu. Sehari. Aku selalu memikirkan dirimu, bahkan saat aku sedang
bersama kerbau juraganku. Ataupun dua hari aku selalu berambisi untuk menjaga
kehormatanmu saat aku sedang bergelut dengan cangkul dan lumpur kotor. Tiga
hari, empat hari, sebulan pun berlalu aku masih juga memikirkan tentang masalah
klasikmu itu. Aku ini peduli padamu. Entah mengapa? Pun aku tak bisa
mendustakan ada sebuah gejolak panas saat kudengar di layar televisi kembali
menggemuruhkan suara para demonstran atau mungkin juga para selebritis yang
khas dengan pencekalan yang semakin akrab. Kurasa.
Hingga suatu ketika. Empat puluh hari setelah aku
menyadari, setelah aku mengerti dan mulai terpikat untuk membantu menyelesaikan
masalahmu. Aku termenung di belakang rumahku. Di bawah gerombolan pohon bambu yang
saling bergesekkan dan menyanyikan suara yang tak lebih membisingkan dari bunyi
kendaraan di kota. Hanya sebatas teman dalam pemikiran untukmu. Sebuah ide atau
mungkin juga sebuah petunjuk muncul saat aku melihat beberapa karung bekas di
bawah gerombolan bambu. Mungkin kau bertanya-tanya akan aku apakan karung bekas
itu. Tapi jangan lantas kau berpikir aku akan menjual karung bekas itu untuk
membuatkanmu kamar mandi. Karung bekas tak lebih berharga, karung bekas tak
cukup bernilai untuk sekedar aku tukarkan dengan material bangunan. Aku yakin
kau pun tahu hal itu.
Segera saja tanpa menunggu banyak waktu yang terbuang . Kuambil
beberapa karung bekas lalu kubelah salah satu sisinya hingga sekarang ukurannya
tentu terlihat dua kali lebih besar dari yang semula. Tak lupa kuambil pula
beberapa batang bambu dan kupotong menjadi beberapa bagian yang kusesuaikan
dengan perhitungan cepat yang ada diotakku. Yang tentunya ini lebih hemat
daripada aku harus menganalisa banyak perhitungan yang mungkin akan lebih
banyak uang dan waktu yang kubutuhkan. Aku tak mau hal itu terjadi.
Lalu dengan langkah penuh kegembiraan kuarak bambu dan
karung bekas itu menuju kali Srinjing. Di tempat biasa aku menemukanmu. Aku
melewati rumah-rumah tetanggaku yang menatap heran dengan apa yang akan
kulakukan. Tapi tentu saja itu tak menyurutkan niatku. Bahkan dengan bangga aku
memamerkan pada mereka semua, bahwa: Aku telah menemukan solusi untuk Sulastri.
Dan ini yang tebaik. Aku pun berharap kau akan jauh lebih bangga padaku Lastri.
Aku harap itu. Kau harusnya bersyukur dan bangga padaku lebih dari kebanggaan
mereka , karena ini kulakukan untukmu. Ingat, hanya untukmu Sulastri. Bukan
untuk para demonstran, selebritis, wartawan apalagi hanya untuk para pecundang,
pengecut.
Kini aku menuruni tangga tanah yang sering kau lalui. Aku
tak menghitung berapa jumlah anak tangga yang berhasil kuturuni karena aku
terlalu bernafsu untuk segera memberikan hadiah istimewa ini untukmu. Setelah
kakiku menyentuh dasar kali Srinjing yang sedikit berpasir aku segera
menancapkan beberapa bambu yang telah kupersiapkan. Yang telah kupotong lancip
pada bagian bawahnya. Satu persatu bambu pun kutancapkan dan kutata berdasarkan
imaginasi yang ada di otakku saat itu. Tak banyak kata dan pemikiran, hanya aku
lebih banyak bertindak. Itu saja.
Setelah semua tonggak telah berdiri maka sudah saatnya
aku menyampulnya dengan karung bekas yang terbelah tadi. Tak lupa kukaitkan
beberapa kawat kecil sebagai tali penguat di ujung-ujung tonggak. Dan tak
berapa lama pun kini sebuah kamar mandi privat. Dan mungkin juga termewah yang
ada di kali Srinjing ini dapat segera kau nikmati. Aku yakin dengan kamar mandi
berkat pemikiranku beberapa hari lalu, akan menjawab semua masalah klasikmu.
Kau tak perlu takut lagi pada para demonstran, wartawan ataupun juga para
selebritis, yang mulai sekarang akan menutup mulutnya. Atau mungkin juga akan
terilhami dengan ikut-ikutan memakai karung bekas untuk menutupi tubuhnya.
Mungkin saja. Apa yang tak mungkin di negara demokrasi yang beranjak bebas
seperti negara kita.
Setelah kurasa semua telah cukup. Aku segera pergi menuju
ke tempat biasa aku mandi dan menunggumu. Lama aku terduduk termenung. Tapi hingga sinar matahari telah meredup dan
awan-awan hitam berarakan kau pun tak kunjung datang. Bahkan kulihat sedari
tadi ada gadis-gadis dan ibu-ibu lain yang terlebih dulu menikmati kamar mandi
privat yang sebenarnya aku persembahkan hanya untukmu. Tersirat sebuah gambaran
kekecewaanku waktu itu Lastri, wajahku pucat, otot-otot di lenganku pun terasa
melemas. Dan setelah kuyakin kau tak juga dan tak mungkin datang karena sungai Srinjing
yang mulai gelap. Aku memutuskan untuk melangkahkan kaki dengan lesu menuju
rumah. Aku hanya tertunduk malu melewati barisan rumah yang tadi sempat aku pameri.
Saat aku menemukan sebuah solusi untuk masalahmu.
Sang raja pagi telah berkokok membuyarkan mimpi melihatmu
di kamar mandi mewah. Hadiah untukmu. Aku segera bergegas menuju kali Srinjing.
Aku memutuskan untuk cuti kerja hari ini. Hanya ingin melihatmu tersenyum saat
berada dalam kamar mandi kali Srinjing. Ada sebuah kekuatan batin atau bisa
juga intuisi yang mendorong kuat ragaku untuk menunggumu di sini. Kicauan
burung-burung kecil dan bunyi air yang mengalir terus menemaniku melewati waktu
di kali Srinjing. Tapi kau tak juga datang, hanya gadis-gadis dan ibu-ibu yang
kemarin kulihat. Kini semakin bersemangat dan semakin menunjukan senyum
merekahnya, karena mereka mendapatkan kamar mandi. Yang harusnya itu kau
miliki, kau gunakan. Sulastri.
Sehari, dua hari, seminggu, sebulan pun kian berlalu. Kau
tak juga menampakkan batang hidungmu. Hatiku resah. Kembali bergejolak liar,
ada apa gerangan? Pikirku semakin kacau. Kau tahu itu Sulastri? Itu karena
kabar burung yang kudengar tentang dirimu. Kata mereka: Kau tak lagi tinggal di
desa seberang, kau pindah ke kota. Mencari uang. Aku tak habis pikir, ternyata
kau sama saja dengan para selebritis itu Lastri. Kau sungguh tega padaku.
Padahal aku telah berbaik hati memberimu solusi dari masalah yang kau hadapi.
Tapi justru sekarang kau malah pergi meninggalkanku tanpa kabar sedikitpun. Tak
tahu siapa yang harus kusalahkan. Mungkin juga aku sendiri. Ya ini memang
salahku. Karena aku tak mengumumkan padamu bahwa aku memiliki rancangan untuk
memecahkan masalahmu itu Sulastri. Ini benar-benar kebodohanku.
Sulastri, aku merindukanmu. Aku merindukan senyummu di
kali Srinjing ini. Cepatlah pulang. Di sini telah kupersembahkan kamar mandi
privat terbaik yang pernah ada di kali Srinjing. Hanya untukmu Sulastri. Bukan
untuk yang lain. Cepatlah pulang, jangan paksa otakku berpikir macam-macam
tentangmu. Jangan paksa otakku untuk mempercayai bahwa kau tengah asyik tidur
di kamar mandi bernilai milyaran rupiah milik pejabat di kota, Sulastri.
Kuharap kau tak tergiur dengannya. Semoga saja benar. Dan kau lekas kembali.
Di pinggir kali
Srinjing aku akan selalu menunggu kehadiranmu.
Pemerhatimu, Darto.
Candra Irawan , hobi
menulis puisi, cerpen dan bermain teater. Lahir dan besar di Kediri. Fb: Irawanc72@yahoo.com dan Email candrairawan72@gmail.com .